Selasa, 25 Februari 2014

PENDAFTARAN PESERTA BPJS HANYA SEBAGIAN KELUARGA SAJA???







Pertanyaan sederhana, bagaimana dengan kepatuhan peserta perorangan yang hanya mendaftarkan sebagian keluarganya saja pada program BPJS Kesehatan? (misalnya istri saja/ suami saja/ atau anaknya saja) karena dengan alasan berbagai hal. Apakah dapat dikategorikan merupakan suatu ketidakpatuhan terkait dengan pendaftaran kepesertaan sebagaimana yang diatur dalam PP No. 86 Tahun 2013?


Pertanyaan diatas adalah sebuah pertanyaan sederhana sehubungan dengan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional yang mulai berlaku 1 Januari 2014. Dalam UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS disebutkan salah satu asas dalam penyelenggaraan program BPJS ini adalah "Gotong Royong". Naahh...tentunya kalau gotong royong, semua Warga Negara harus bersama-sama mendukung program ini. 
 
Menjawab pertanyaan diatas, seharusnya kita kembalikan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sebagai Badan Operasional Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan harus konsisten terhadap aturan tersebut.

Dalam Pasal 4 PP No. 86 Tahun 2013 disebutkan bahwa :

“ Setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan penerima bantuan iuran yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan wajib :
  • Mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai peserta kepada BPJS
  • bMemberikan data dirinya dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS”

Melihat ketentuan pasal tersebut sudah sangat jelas bahwa muncul kewajiban bagi setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan penerima bantuan iuran yang memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan dalam pasal diatas mendaftarkan tidak hanya sebagian keluarganya, namun wajib hukumnya untuk mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya ke BPJS pada saat dia menyatakan dirinya untuk mendaftarkan dirinya.

Permasalahan yang terjadi justru banyak peserta mandiri / perorangan yang mendaftarkan dirinya atau hanya sebagian keluarganya, yang notabene pada saat ini yang mendaftar hanya orang-orang yang memerlukan pelayanan kesehatan, dapat dibayangkan angka ratio pesakitan akan sangat tinggi mengingat yang mendaftar hanya orang-orang yang pada saat tersebut membutuhkan pelayanan kesehatan. Prinsip Gotong Royong dalam program BPJS sama artinya dengan yang sehat membantu yang sakit, yang kuat bantu yang lemah dan yang sedang tidak membutuhkan membantu yang sedang membutuhkan.

Sekedar ilustari :
Seorang laki-laki tua didiagnosa harus menjalani operasi jantung dengan biaya yang tentunya tidak murah, dia harus menjalani operasi dengan biaya yang telah ditanggung sepenuhnya oleh BPJS, kalau dikaji lagi bukan BPJS lah yang menanggung seorang laki-laki tadi, tapi ratusan orang-orang yang sehat dan yang membayar iuranlah yang membantu biaya berobat seorang laki-laki td. Itulah Prinsip Gotong Royong yang harus kita pahami bersama.

Semoga Program Mulia ini dapat berjalan dengan baik.

Minggu, 15 Desember 2013

TINJAUAN CRITICAL LEGAL STUDIES



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia. “Tatanan Perbuatan” mengandung arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu peraturan semata, seperti kadang-kadang dikatakan demikian. Hukum adalah seperangkat peraturan yang kita pahami dalam satu kesatuan yang sistemik.[1] Dalam setiap pendekatan terhadap hukum, kita akan menemukan suatu kenyataan yang agak mengejutkan bahkan memalukan, karenanya ternyata adalah tidak mungkin mendefenisikan hukum secara tepat. Bagi Hillian Seagle (1946-2) pertanyaan tentang apa hukum itu, dianggapnya sebagai “the dark cat in the bag of jurisprudence” [2]
Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan kelanjutan dari aliran hukum realisme Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat Socratis. Beberapa nama yang menjadi penggerak CRITICAL LEGAL STUDIES adalah Roberto Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Mark Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz, dan yang lainnya.
Perbedaan utama antara CRITICAL LEGAL STUDIES dengan pemikiran hukum lain yang tradisional adalah bahwa CRITICAL LEGAL STUDIES menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik. Tidak ada pembedaan model logika hukum; hukum adalah politik dengan baju yang berbeda. Hukum hanya ada dalam suatu ideologi. CRITICAL LEGAL STUDIES menempatkan fungsi pengadilan dalam memahami hukum sebagai perhatian utama.
Walaupun menolak dikatakan sebagai tipe pemikiran Marxis yang membedakan antara suprastruktur dan infrastruktur serta hukum sebagai alat dominasi kaum kapitalis, CRITICAL LEGAL STUDIES mendeklarasikan peran untuk membongkar struktur sosial yang hierarkhis. Struktur sosial merupakan wujud ketidakadilan, dominasi, dan penindasan. Tugas kalangan hukum adalah membawa perubahan cara berpikir hukum dan perubahan masyarakat. Pemikiran ini terinspirasi pemikiran filsafat kritis dari Jurgen Habermas, Emil Durkheim, Karl Mannheim, Herbert Marcuse, Antonio Gramsci, dan lain-lain. Jurgen Habermas, Karl Mannheim, Herbert Marcuse, dan Antonio Gramsci adalah tokoh-tokoh utama mahzab kritis[3]
CRITICAL LEGAL STUDIES timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang sebenarnya.Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun 1960-an. Pada masa itu, praktik hukum menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang kontras. Di satu sisi, beberapa pengadilan dan beberapa bagian dari profesi hukum telah menjadi juru bicara bagi kelompok masyarakat yang tidak beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang bersamaan, hukum menampilkan sosoknya yang dilengkapi dengan sepatu boot dan berlaku represif untuk membasmi setiap anggota masyarakat yang membangkang.
Terdapat 2 (dua) tema yang dominan dalam kritik yang dilancarkan oleh CRITICAL LEGAL STUDIES ini, yaitu:
Institusi-institusi hukum sudah tercemar dari dalam, ikut menyebabkan ketiadaan ketertiban sosial secara keseluruhan, dan hukum bekerja terutama sebagai alat kekuasaan. Dalam tema ini, keberpihakan hukum yang sangat jelas, yang menguntungkan golongan kaya dan merugikan serta menipu golongan miskin, dikutip sebagai bukti yang tidak terbantahkan.
Kritik terhadap legalisme liberal (liberal legalism) itu sendiri, adalah mengenai gagasan bahwa tujuan keadilan dapat dicapai melalui sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak dan otonom.


B.     Pokok Permasalahan
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah :
1.      Bagaimanakah bentuk dasar pemikiran dari gerakan Critical Legal Studies?
2.      Apa saja kelebihan dan kekurangan pemikiran Critical Legal Studies?
3.      Bagaimanakah analisis pemikiran critical legal studies dalam hukum Indonesia?

C.     Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan ilmiah ini adalah :
1.      Mengetahui dasar pemikiran dari gerakan Critical Legal Studies.
2.      Mengetahui kelebihan dan kekurangan gerakan Critical Legal Studies.
3.      Mengetahui analisa bentuk pemikiran critical legal studies dalam Hukum Indonesia.













BAB II
PEMBAHASAN
A.      Dasar Pemikiran Gerakan Critical Legal Studies

1.      Ketidakpastian
Positivisme menuntut bahwa memutuskan suatu kasus menunjuk pada ketetapan dan kepastian. Namun CRITICAL LEGAL STUDIES menganggap bahwa klaim atas suatu kepastian adalah palsu. Baik aturan hukum maupun ajaran prinsip-prinsip hukum dan pepatah tidak bisa digunakan untuk menentukan hasil akhir dari suatu kasus. Rasionalitas hukum adalah semacam manipulasi. Hal ini karena prinsip-prinsip, doktrin atau pepatah yang sama dapat digunakan untuk lapangan kasus yang berbeda dengan hasil yang berlawanan atau berbeda. Berbagai aturan hukum dan berbagai kata atau frase yang digunakan dalam aturan sangat rentan terhadap berbagai penafsiran tergantung pada hakim menerima interpretasi yang mana. Singkatnya, tidak tergantung pada substansi hukum, apalagi alasan rasio hukum. Yang ditolak adalah bahwa seluruh hukum memiliki aturan yang tetap.
Namun menurut Hari Chand, positivis memang salah dengan menuntut hukum memutuskan kasus sebagaimana CRITICAL LEGAL STUDIES juga salah karena melihat hukum sebagai ketidakpastian. Kenyataan kepastian hukum juga ada tetapi tidak benar jika hal itu ada pada masing-masing dan setiap hukum dan aturan atau sistem hukum. Pada suatu kasus yang berat, mungkin tidak aturan hukum yang dapat dijadikan pedoman oleh hakim dan fakta ketidakmenentuan banyak terdapat pada kasus-kasus yang berat. Namun tesis ketidakmenentuan tidak dapat dibenarkan dalam banyak kasus lainnya.
2.    Pertentangan
Bahwa doktrin hukum mengandung kontradiksi adalah pandangan pokok lain dari aliran hukum kritis. Unger memberikan contoh hukum kontrak yang didasarkan atas prinsip kebebasan untuk memilih dari patner dan ketentuan dan kondisi yang diinginkan para pihak dan counterprinsip tidak boleh meruntuhkan aspek sosial kehidupan bersama dan tidak dilakukannya transaksi dan bargaining yang tidak fair. Namun selalu ada suatu permainan prinsip dominasi dalam hukum kontrak. Pada kenyataanya terdapat unsur dominasi dalam kesatuan .

B.       Kelebihan Dan Kekurangan Critical Legal Studies

1.      Kelebihan Critical Legal Studies
CRITICAL LEGAL STUDIES terdiri dari berbagai macam pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada pemikiran post-modern. Namun ada beberapa kesepahaman antara pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial.
Kekritisan CRITICAL LEGAL STUDIES dalam memahami realitas sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praktis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah kelebihan utama CRITICAL LEGAL STUDIES. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara obyektif.
Kelebihan lain dari CRITICAL LEGAL STUDIES adalah perhatiannya yang sangat besar terhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial. Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri sehingga menimbulkan keterasingan individu subyektif karen tersedot arus budaya massa yang abstrak.
2.      Kekurangan Critical Legal Studies
Sebagaimana pemikiran kritis yang lain, apabila tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau paling tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana sehingga melupakan tugas praksis terhadap masyarakat.
Kelemahan lain adalah dari sifat asli pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi. Padahal realitas masyarakat selualu cenderung mempertahankan nilai-nilai dan tatanan lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa. Maka konsekuensi dari pendukung CRITICAL LEGAL STUDIES akan selalu berada di pinggir sistem sosial kalau tidak tidak anggap sebagai makhluk aneh yang harus disingkirkan. Akibatnya CRITICAL LEGAL STUDIES sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama CRITICAL LEGAL STUDIES adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh orang lain.[4]
C.                Analisis Kritis terhadap Hukum di Indonesia
Penggunaan CRITICAL LEGAL STUDIES untuk menganalisis hukum di Indonesia paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada masa inilah dapat dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil dan politik rakyat
Sebagai salah satu contoh, disini akan diungkapkan kepentingan kelas dominan dalam menentukan substansi Rancangan Undang-Undang Pemilu yang saat ini dibahas di DPR. Pemilu tahun 2004 memiliki arti strategis. Bagi penguasa, momen ini memiliki arti untuk melanggengkan kekuasaannya. Sehingga sejak saat ini pun banyak langkah dan kebijakan yang dilandasi pertimbangan kepentingan kekuasaan tahun 2004. Di sisi lain, masa transisi politik adalah masa paling mudah melakukan perubahan karena tidak adanya kekuatan yang dominan. Pemberantasan KKN harus dilakukan dalam rentang waktu transisi politik.Apabila sampai saat rekonsolidasi politik perubahan belum berhasil, maka proses perubahan akan kembali memasuki masa-masa yang sulit karena semakin mapannya kekuasaan.
Makna pemilu 2004 menjadi semakin penting karena pada waktu inilah dimulai sistem perwakilan baru yaitu bikameraldi Indonesia yang ditandai dengan adanya DPD dan bergesernya kedudukan MPR, serta merupakan awal pelaksanaan pemilihan Presiden secara langsung. Untuk bisa menciptakan wakil rakyat yang amanah dan bertanggungjawab serta sebagai salah satu agenda pemberantasan KKN, harus dipilih dan diciptakan sistem pemilu yang dapat memenuhi kepentingan tersebut
Pemilu 1999 yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup telah menimbulkan jarak antara wakil rakyat dan konstituennya. Dengan memilih tandar gambar partai, kampanye partai politik lebih menekankan pada sentimen primordial dan nama besar tokoh partai, sehingga pilihan konstituenpun tidak berdasarkan pertimbangan rasional program dan citra calonnya. Sebagai bukti dapat diungkapkan bahwa perbedaan pilihan untuk DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten hanya 0,04%. Akibatnya, saat ini sulit untuk menggunggat pertanggungjawaban wakil rakyat.
Penilaian negatif seseorang terhadap wakil rakyat akan dengan mudah terhapus oleh nama besar dari partai. Sistem pemilu tahun 1999, juga melahirkan hegemoni kekuasaan partai politik. Kekuasaan partai politik sangat besar dalam menentukan calon dan apa yang harus diperbuat wakil rakyat. Sistem pemilu tahun 1999 ternyata telah mengukuhkan budaya politik yang abstrak, paternalis, dan tidak bertanggung jawab.
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum yang saat ini sedang dibahas di DPR, dalam beberapa hal mencoba untuk menutup berbagai kekurangan dalam sistem pemilu yang digunakan tahun 1999. Dengan menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka diharapkan dapat dicapai aspek representasi dari sistem proporsional dan aspek akuntabilitas dari sistem distrik. Sistem ini tentu saja memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif bagi perkembangan partai politik adalah; pertama, mengalihkan konflik penyusunan daftar nama calon dalam partai politik.
Sebelumnya, konflik tidak sehat, karena keputusannya tergantung pada pimpinan partai. Dalam sistem proporsional dengan daftar terbuka calon tidak disusun berdasarkan peringkat. Calon jadi adalah calon yang mendapatkan jumlah suara tertentu menurut peringkat sesuai jatah kursi daerah setempat. Kedua, karena seorang calon nasibnya ditentukan oleh suara yang didapat, maka calon tersebut terutama harus berkampanye di daerahnya.
Kampanye dengan menghadirkan tokoh tertentu diluar daerah pemilihannya menjadi kurang berarti bagi terpilihnya seorang calon. Kampanye yang dilakukan harus menyentuh kebutuhan riil masyarakat, dan masyarakat bisa menggugat serta mengkoreksinya pada pemilu kemudian. Ketiga, dengan sistem tersebut, akan mengeliminasi hegemoni partai politik terhadap wakil rakyat dan memperdekat jarak wakil rakyat dengan konstituennya.
Sisi positif bagi masyarakat, adalah pembangunan budaya politik yang rasional. Pertama, masyarakat tidak hanya memilih tanda gambar partai, tetapi juga memilih calon yang akan mengisi kursi partai tersebut. Sehingga sangat mungkin partai pilihan pemilih berbeda antara DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Propinsi, dan DPR. Masyarakat juga belajar kalkulasi rasional terhadap citra dan program wakil rakyat. Kedua, kepentingan-kepentingan daerah atau isu-isu lokal menjadi mendapatkan tempat dalam perpolitikan Indonesia.
Sedangkan sisi negatifnya adalah pelaksanaannya yang cukup rumit dan membutuhkan pengetahuan pemilih yang detil dan lengkap. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang tingkat pendidikannya rendah, pelaksanaan sistem ini memang cukup sulit. Belum lagi masalah teknis lain, seperti bentuk surat suara, waktu yang digunakan untuk memilih dan waktu penghitungan suara.
Namun kendala tersebut bukan berarti tidak bisa diselesaikan. Kendala kesadaran dan pengetahuan pemilih bisa diatasi apabila ada proses voter education yang memadai dalam tahapan pemilu. Proses ini tentu saja tidak hanya dilakukan oleh KPU sebagai pelaksana pemilu, tetapi juga oleh elemen masyarakat yang lain. Kendala kerumitan proses kampanye, pemilihan, dan penghitungan, juga bisa diatasi dengan pemisahan pelaksanaan pemilu. Disamping karena pokok persoalan pemilihannya berbeda, hal ini juga akan memperkukuh kalkulasi rasional masyarakat pada masing-masing pemilihan.
Namun lagi-lagi upaya perubahan ini menghadapi tembok kekuasaan yang saat ini berada dalam bangunan partai politik. Enam partai besar sudah menunjukan indikasi penolakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Berbagai alasan dikemukakan mulai dari yang ideologis sampai pada yang teknis.
Penolakan tersebut dapat dimaklumi karena; pertama, sistem ini akan memperlemah kontrol partai politik terhadap wakil rakyat. Kedua, sistem ini akan menimbulkan kesadaran kritis pemilih. Pemilih yang sadar tidak akan lagi terikat secara emosional tetapi lebih pada citra dan program calon wakil rakyat. Akibatnya, partai yang tidak memiliki program yang sungguh-sungguh akan ditinggalkan. Ketiga, sistem ini membutuhkan proses kampanye yang panjang, dialogis dan menitikberatkan pada pendidikan politik, padahal partai politik saat ini lebih menyukai proses mobilisasi massa. Tembok penghalang tersebut sangat kukuh, karena bermukim dalam lembaga DPR dan pemerintahan. Kedua institusi inilah yang secara yuridis normatif memegang kekuasaan membentuk Undang-undang. Tampaknya harapan memperoleh wakil rakyat yang lebih bertanggungjawab sulit terwujud.












BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pemikiran hukum di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh dua aliran besar, yaitu positivis dan sociological jurisprudence. Aliran positivis terutama dipegang oleh kalangan aparat penegak hukum, akademisi dan birokrasi, sehingga seringkali menjadi penghalang perkembangan hukum serta mengalami kebuntuan ketika menghadapi kasus-kasus baru.
Sedangkan aliran sociological jurispurudence banyak tergambar dari perilaku dan aktivitas politisi terutama lembaga pembuat undang-undang (legislatif). Aliran ini awal mulanya diterapkan pada masa orde baru untuk mendukung program-program pembangunan orde baru dan melanggengkan kekuasaan dengan menjaga stabilitas politik. Saat ini yang tersisa adalah menjadikan hukum sebagai ajang legiitimasi dalam memperoleh dan melanggengkan kekuasaan.
CRITICAL LEGAL STUDIES sendiri masih sangat baru bagi kalangan hukum di Indonesia. Perkembangan awal CRITICAL LEGAL STUDIES digunakan oleh kalangan aktivis LSM untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis.
Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional. Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran CRITICAL LEGAL STUDIES juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di Indonesia.
Sebagai penutup tulisan ini, maka penulis mengajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  1. CLS timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang sebenarnya. Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun 1960-an, yaitu ketika praktik hukum saat itu menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang kontras. Di satu sisi, hukum telah menjadi juru bicara bagi kelompok masyarakat yang tidak beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang bersamaan, hukum menampilkan sosoknya yang represif terhadap masyarakat.
  2. Esensi pemikiran CLS adalah terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. Dari pandangannya bahwa hukum itu adalah politik, maka CLS menolak dan menyerang keyakinan para positivis dalam ilmu hukum yang mengembangkan pemikiran hukum liberal. CLS berusaha untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi.
  3. Pemikiran CLS juga telah mempengaruhi pemikiran para ahli hukum di Indonesia. Hal itu dapatlah dipahami, karena keadaan hukum di Indonesia mirip dengan keadaan hukum di Amerika Serikat pada saat CLS ini lahir. Oleh karena itu, maka metode kajian hukum dari CLS menjadi sangat relevan apabila dipergunakan dalam menganalisis keadaan hukum di Indonesia. Sebagai contoh, dalam melihat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan menggunakan metode kritisi yang ditawarkan oleh CLS, maka dapat terlihat bahwa undang-undang itu sebenarnya penuh dengan muatan kepentingan pemilik modal nasional dan terlebih lagi internasional, dengan agenda ekonomi neoliberalismenya. Akibatnya, perlindungan bagi kaum buruhnya menjadi tersingkirkan. Pada akhirnya, lagi-lagi buruh itu menjadi “…sekedar sebagai sebuah komoditas” yang tidak diperhatikan dan dilindungi hak-hak asasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
1.      Ahmad ali,2009,Menguak teori hukum dan teori peradilan,Jakarta : Prenada Media Group.
2.      Hans Kelsen,2007,Teori Umum Hukum dan Negara,Jakarta : bee media Indonesia.

Internet


[1] Hans Kelsen,2007,Teori Umum Hukum dan Negara,Jakarta : bee media Indonesia.
[2]Ahmad ali,2009,Menguak teori hukum dan teori peradilan,Jakarta : Prenada Media Group.

SEJARAH HUKUM DOKTRIN INFORMED CONSENT



A.    Latar Belakang
Dahulu kala Hippocrates pernah menganjurkan untuk mengalihkan perhatian pasien terhadap apa yang sedang dilakukan terhadapnya.....dan jangan mengungkapkan apa-apa tentang keadaan pasien baik sekarang atau kemudian hari (Perform calmly, and adroitly, concealing most things from the patient while you are attending him. Give necessary orders with cheerfulness and serenity, turning his attention away from what is being done to him.... Revealing nothing f the patient`s future or present condition...). Dengan perubahan zaman dan perkembangan ilmu dan tekhnologi serta informasi, maka anjuran Hippocrates ini tidak dapat dipertahankan lagi. Perkembangan zaman di Yunani dan Romawi kuno kemudian, para dokter telah memperoleh consent dari para pasien berdasarkan tujuan murni therapeutik. Latar belakangnya adalah berdasarkan suatu keyakinan bahwa seorang pasien akan sembuh lebih cepat apabila ia sendiri juga turut berpartisipasi dalam pengobatannya.
Konsep informed consent di zaman modern, telah mengalami suatu proses panjang sehingga menjadi doktrin yang mempunyai dasar legal. Konsep ini didasari oleh pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri. Sumber dasar doktrin ini berasal dari falsafah moral, sosial budaya dan politik, pengaruh falsafah moral menjadi pengaruh yang paling dominan.
Declaration of Lisbon (1981) dan Patient`s Bill of Right (American Hospital Association, 1972), menyatakan bahwa “pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik”. Hal ini berhubungan dengan hak menentukan nasib sendiri (the right to self determination) sebagai dasar hak asasi manusia, dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Hukum diharapkan akan melindungi kepentingan hak. Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan dan sebagai konsumen di Indonesia, dilindungi oleh hukum positip yaitu UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004 dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Hak pasien selalu dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hak-hak pasien diantaranya ;[1]
a.       Hak untuk Hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar;
b.      Hak memperoleh pelayanan kedokteran dan perawatan secara manusiawi sesuai standar profesi baik kedokteran maupun keperawatan;
c.       Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan;
d.      Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran dan keperawatan yang akan diikutinya;
e.       Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kesehatan dan kedokteran;
f.       Dirujuk kepada dokter spesialis bila diperlukan;
g.      Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi;
h.      Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit;
i.        Berhubungan dengan keluarga, penasihat rohani dan lain-lain
j.        Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.
k.      Hak atas persetujuan (Consent)
Consent : suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur & konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed Consent).
Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak health care receiver antara lain hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informed consent). Jadi informed consent merupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut.[2]
Persetujuan tindakan medik/ Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, tetapi setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan. Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.[3]
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membuat makalah tentang : “sejarah hukum doktrin informed consent”.
B.     PERMASALAHAN
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana sejarah hukum informed consent?
2.      Bagaimana hubungan hukum informed consent dengan tenaga kesehatan?
3.      Bagaimana perspektif hukum islam terhadap informed concent?

C. METODOLOGI PENULISAN
Penulisan ini terdiri dari tiga bab. Bab I, Pendahuluan berisi latar belakang masalah sejarah hukum informed consent, Identifikasi masalah dan metodologi penulisan. Bab II, Pembahasan, berisi tinjauan pustaka tentang sejarah hukum informed consent, hubungan hukum informed consent dengan tenaga kesehatan, Persfektif Hukum Islam terhadap informed consent. Bab III, Penutup, terdiri dari simpulan dan saran.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah hukum informed consent
Informed consent lahir karena ada hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin dalam transaksi teurapeutik menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu pihak pemberi pelayanan (medical provider) dan pihak penerima pelayanan (medical receiver) dan ini harus dihormati para pihak.[4] Hak untuk menerima yang dimiliki seseorang akan bersinggungan dengan kewajiban pihak lain untuk memberi, demikian pula sebaliknya. Interaksi antara hak dan kewajiban inilah yang melahirkan hubungan hukum yang akan dan harus diatur oleh hukum agar fungsi hukum yaitu tercapainya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat dapat terwujud. Hak adalah wewenang, kekuasaan supaya berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu, sebaliknya kewajiban adalah tunduk pada, menghormati hak tersebut atau berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut. Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan akan berhubungan dengan kewajiban tenaga kesehatan dan rumah sakit untuk menunaikan hak-haknya. Dalam sistem hukum Islam menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada hak. Pemahaman tenaga kesehatan tentang hak pasien menjadi suatu keharusan. Dalam konteks ini, adalah Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri, sehingga memunculkan doktrin informed consent.
Di Perancis walaupun Nuremberg code acapkali dikatakan sebagai asal mulanya informed consent, namun yurisprudensi Perancis memastikan kebutuhan untuk memperoleh informed consent baru pada tahun 1920. Opini ini dipastikan oleh Mahkamah Agung Perancis pada 28 Januari 1942, bahwa semua dokter mempunyai kewajiban fundamental terhadap negara untuk memperoleh persetujuan dari pasien terlebih dahulu. [5]
Pada awal mulanya, dikenal hak atas Persetujuan/Consent, baru kemudian dikenal hak atas informasi yang kemudian menjadi “Informed Consent”. Penambahan istilah “consent” menjadi “Informed Consent” di dalam prakteknya harus melalui beberapa fase. Maka dikatakan bahwa Informed Consent itu adalah suatu “Comunication Process”. Appelbaum, et al menekankan “ ....consent as a process, not an event”. Meisel & Lorel Roth memberi definsi doktrin Informed Consent sebagai “the legal model of the medical decision making process”.
Doktrin Informed Consent timbul berdasarkan karena 2 (dua) hal pokok, yaitu :
1.      Equity, dalam arti kepatutan, dan
2.      Battery, dalam arti penyentuhan/pencederaan tubuh seseorang tanpa izinnya.
Keputusan-keputusan pengadilan yang menyangkut masalah Equity sudah dimulai sejak abad ke-12 dan ke-13. Di dalam sejarahnya, hal ini berkaitan dengan masalah hubungan yang didasarkan atas suatu kepercayaan penuh pasien yang awam tentang kesehatan dengan dokternya yang dianggap profesi yang menguasai ilmunya dengan baik karena sudah ditempuh melalui jalur pendidikan. Maka, menjadi kewajiban dokter untuk memberi penjelasan kepada pasiennya, sehingga pasien bisa memutuskan atau mempertimbangkan suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Sedangkan istilah “batery”, sering digunakan dengan istilah “assault”, sehingga menyatu menjadi “assault and batery”, (assault artinya serangan). “Assault and batery” termasuk tindakan yang bersifat kriminal, merupakan istilah kuno, namun masih dipergunakan dalam sistem Anglo Saxon sebagai arti pencederaan. Kasus “assault and batery” yang pertama sudah ditemukan pada tahun 1348.
Kasus “Slater vs Baker Stapleton”, tahun 1767 menurut Appelbaum, et al merupakan kasus yang pertama di Inggris dimana diputuskan bahwa dokter harus memperoleh ijin pasien terlebih dahulu sebelum melakukan tindakannya. Duduk persoalannya sebagai berikut :
Dua orang dokter dipersalahkan karena tanpa izin pasiennya telah memisahkan lagi callous (pertumbuhan tulang baru) dari suatu fraktur yang sudah mulai sembuh sebagian dan menyatu. Tindakan tersebut selain dilakukan tanpa izin pasien juga dianggap bertentangan dengan standar profesi medik, karena dokter bedah lain tidak akan berbuat demikian.
Kasus Mary E. Schoendorff vs The Society of the New York Hospital, muncul tanggal 14 April 1914, yang diputuskan di dalam Court of Appeals of New York. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut :
Pada bulan Januari 1908, Mary E. Schoendorff datang ke New York Hospital karena merasakan ada gangguan pada lambungnya. Rumah sakit yang didatanginya ini merupakan Rumah Sakit non profit dan yang bersifat amal (charity institution). Ia dirawat dan diperiksa oleh dokter Bartlett yang mendeteksi sebuah benjolan yang ternyata adalah sebuah “fibroid tumor”. Ia dikonsulkan kepada dokter Srimson yang menganjurkan operasi. Untuk memastikan adanya “fibroid tumor” tersebut harus dilakukan pemeriksaan dengan ether. Mary menyetujui untuk dilakukan pemeriksaan dengan ether, tetapi meyatakan kepada dokter Bartlett bahwa ia tidak mau dioperasi. Pada malam harinya, ia diambil dari bangsl interne dan dibawa ke bangsal bedah, dimana perawat menyiapkan untuk operasi. Esok harinya dilakukan pembiusan dengan ether da sewaktu pasien dalam keadaan tidak sadar, sebuah tumor telah diangkat. Mary mengatakan bahwa ini dilakukan tanpa persetujuannya, tetapi dibantah oleh para dokter dan perawat lainnya. Sesudah operasi dan menurut kesaksian para saksi, timbul gangren pada lengan kirinya, sehingga beberapa jarinya harus diamputasi. Penderitaannya hebat, maka ia menuntut rumah sakitnya. Mary dikalahkan, dengan dasar, menurut prinsip-prinsip hukum, sebuah Rumah Sakit yang bersifat amal (Charitable institutions) tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap kelalaian para dokter dan perawatnya. Teori lain yang dipakai adalah teori yang mengatakan bahwa seorang pasien yang meminta pertolongan kepada suatu institusi amal dianggap telah melepaskan haknya untuk menuntut apabila ada kelalaian dalam tindakan yang dilakukan.
Mary mengajukan banding kepada Court of Appeals, dan Hakim Benyamin Cardozo J yang memeriksa memenangkannya dengan mengatakan bahwa : “Di dalam kasus ini, kesalahan yang digugat bukan hanya kelalaian saja. Ini adalah pelanggaran terhadap hak seseorang. Setiap manusia dewasa dan berakal sehat, berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya sendiri; dan seorang dokter ahli bedah yang melakukan suatu operasi tanpa persetujuan pasiennya dapat dipersalahkan telah melakukan suatu pelanggaran untuk mana ia harus bertanggung jawab atas segala kerugian” (In the case at hand, the wrong complained of is merely negligence. It is trespass. Ever human being of adult years and sound mind has a riht to determine what shall be done with his own body, and a surgeon who performs an operation without his patient`s consent commits an assault, for which he is liable in damages).
Kasus-kasus lain, mulai banyak bermunculan, sesudah kasus Mary E. Schoendorff. Di antaranya yang terkenal adalah kasus Allan vs New Mount Sinai Hospital (1980). Oleh hakim yang memeriksa diputuskan bahwa : “tanpa persetujuan, baik tertulis maupun lisan, tidak boleh dilakukan pembedahan. Ini bukan hanya formalitas belaka, ini adalah hak asasi dari seseorang utnuk dapat mengontrol terhadap tubuhnya sendiri, walaupun dalam hal yang menyangkut bidang medik. Adapun pasien, bukan dokternya, yang memberi keputusan apakah suatu pembedahan akan dilakukan dan oleh siapa pembedahan itu akan dilakukan. Kecuali dalam keadaan emergensi, namun keadaannya harus sedemikian rupa sehingga mengancam nyawanya dan tindakan itu bukan untuk memudahkan” ( Without consent, either written or oral, no surgery may be performed. This is not mere formality, it is an important individual right to have control over one`s own body, even where medical treatment is involved. It is the patient, not the doctor, who decides whether surgery will be performed, where it will be done, when it be done and by whom it will be done. Medical emergencies are exceptions to this principle, but the situation must be life-threatening and the opportunity most than just “convenient).
Menurut Prof. Azrul Azwar : “kehendak untuk menghormati hak asasi manusia dalam bidang kedokteran diterjemahkan sebagai hak-hak pasien (patient right) akhirnya ditetapkan sebagai salah satu kewajiban etik yang harus dipatuhi oleh setiap warga profesi kedokteran. Kode etik kedokteran disahkan pada Sidang Umum Organisasi Kedokteran Dunia, tahun 1949. Butir 6, kode etik ini menyatakan bahwa : “a physician shall respect the rights of the patient”.
Hak-hak pasien dimaksud tertera dalam pasal 3 antara lain “ ……to accept or refuse treatment after receiving adequate information”. [6]
Di Indonesia kasus Muhidin di Sukabumi merupakan tonggak perkembangan doktrin Informed Consent yang diikuti dengan dikeluarkannya Fatwa IDI No. 319/P/BA./1988 dan diadopsi dalam Permenkes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Kasus tersebut berawal dari dokter GM. Husaini yang tidak menjelaskan bahwa resiko operasi matanya adalah “mata pasien akan tampak bolong.” Pasien Muhidin menggugat dokter yang bersangkutan telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu mengambil biji mata Muhidin. Permenkes yang terakhir adalah Permenkes RI Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Di Indonesia belum terdapat yurisprudensi yang dapat dijadikan pegangan sehingga belum bisa berkembang. Doktrin informed consent menyangkut masalah HAM (Hak Asasi Manusia) sehingga pengaturannya sebaiknya harus melalui perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.[7]
B.     Hubungan hukum informed consent dengan tenaga kesehatan.
Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri. Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik pasal 6 ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal tindakan bedah adalah dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada, dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.[8] Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.[9]
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk memberikan informed consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case law (merupakan sifat hukum medik) dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Belakangan ini masalah malpraktek medik (medical malpractice) yang cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia. Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang kurang jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek baru mulai bermunculan. [10]
Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien termasuk dalm wilayah hukum perdata yaitu perjanjian untuk melakukan jasa (Pasal 1601 KUH Perdata) yang didasarkan atas hubungan saling percaya. Aspek perdata informed consent bila dikaitkan dengan hukum perikatan terdapat dalam buku ke III, pasal 1230 KUH Perdata yang menyatakan bahwa syarat syahnya perjanjian diperlukan empat syarat :[11]
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Jika dihubungkan dengan informed consent, maka :
Ad. 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, merupakan syarat pertama. Consent/ persetujuan dari pasien merupakan syarat untuk dilaksanakan perjanjian pelayanan kesehatan sehingga syah menurut hukum dan memberikan kewenangan kepada tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan medik. Para pihak dalam hal ini pasien dan tenaga kesehatan harus sepakat. Rumah Sakit secara hukum perdata bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang berada di bawah tanggungjawabnya, dalam hal ini termasuk dalam pelaksanaan informed consent.
Ad. 2. Kecakapan para pihak dalam hal ini tenaga kesehatan maupun pasien, harus sudah dewasa dan akil baligh sehingga dapat melakukan perbuatan hukum. Orang yang belum dewasa atau mengalami gangguan pikiran, maka diwakili oleh wali atau orang tuanya. Pasien yang sudah dewasa bisa memberikan consentnya dan pada ana-anak diwakili oleh orang tuanya. Tetapi untuk negara-negara Asia termasuk Indonesia seringkali peran keluarga sangat dominan.
Ad. 3. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan itu harus sudah jelas, bukan suatu hal yang umum. Dalam hal ini sudah jelas, yaitu tetang usaha untuk kesembuhan pasien dan imbalan bagi tenaga kesehatan.
Ad. 4. Adanya suatu sebab yang halal dalam hubungan tenaga kesehatan dan pasien, artinya tidak boleh melanggar hukum, kesusilaan maupun ketertiban umum. Tenaga kesehatan melaksanakan tugasnya untuk memberikan pelayanan jasa atas dasar kemanusiaan.
Hubungan tenaga kesehatan dan pasien juga diatur oleh hukum pidana. Apabila melakukan tindakan medik tanpa persetujuan atau consent pasien maka dianggap melangggar pasal 351 KUH Pidana mengenai penganiayaan. Meskipun secara yuridis formil belum ada justifikasi, tetapi ilmu pengetahuan telah menerima tindakan pembedahan dokter melalui konstruksi ”materieel niet wedeerchtelijk”, secara materiil tidak bertentangan dengan hukum atau atas konstruksi yuridis ”ketidakadanya kesalahan”, AVAS, (Afwezigheid van alle schuld) sama sekali tidak adanya kesalahan.
C. Persfektif Hukum Islam terhadap informed consent.
Informed consent merupakan suatu perjanjian, kesepakatan antara pihak tenaga kesehatan dengan pasien. Secara etimologis perjanjian (yang dalam bahasa arab diistilahkan muahadah ittifa`, akkad) atau kontrak dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.
Masing-masnig pihak harus menghormati pihak lain yang menbuat perjanjian, yang menjadi dasar hukum adalah Q.S Al Maidah ayat 1 ;[12]
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[*]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya."
[*] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Secara umum yang menjadi syarat syahnya perjanjian adalah ;[13]
1. Tidak menyalahi hukum syari`ah yang disepakati asalnya
2. Harus sama ridho, dan ada pilihan
3. Harus jelas dan gamblang
Dokrin Informed consent juga berkaitan dengan kewajiban “menunaikan amanat” . Tenaga kesehatan harus menunaikan amanat untuk mendapatkan consent dari pasien, sebab pelanggaran amanat akan merugikan pasien. Hal tersebut disebutkan dalam Al Qur`an surat Al Anfal , ayat 27 :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui."


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Perkembangan sejarah hukum informed consent, telah mengalami suatu proses panjang di semua negara. Terdapat berbagai pendapat yang menjelaskan timbulnya hukum informed consent, yang paling utama adalah dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan hak pasien yang paling mendasar. Terdapat beberapa kasus yang kemudian menjadi dasar yurisprudensi untuk pedoman menangani kasus berikutnya. Di indonesia doktrin informed consent masih belum berkembang dengan baik, dibutuhkan kajian ulang terhadap aturan yang ada sehingga bisa mengingat para pihak.
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk memberikan informed consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case law dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Tenaga kesehatan bisa terkena gugatan perdata maupun pidana. Oleh karena itu, pengetahuan tenaga kesehatan tentang informed consent menjadi suatu kemestian agar tidak menimbulkan kasus hukum.
B.     SARAN
Sebaiknya aturan yang ada ditingkatkan menjadi setingkat Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah karena berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, sebaiknya pembagian tugas informed consent harus jelas antara tiap tenaga kesehatan sehingga akan lebih jelas tanggung jawabnya.



DAFTAR PUSTAKA
I.                   BUKU
Alexandra Indriyanti dewi,etika & hukum kesehatan,Pustaka Book Publisher,Yogyakarta
Al Qur`anul Karim dan terjemahan dalam Al Qur`an Digital.
Anny Isfandyarie,Tanggung jawab hukum dan sanksi bagi dokter buku I,Prestasi Pustaka Publisher,Jakarta
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Ctk Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 1996.
Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.
Guwandi, Pengantar Ilmu Hukum Medik & Bio-etika FKUI .Jakarta. 2009

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KUH Perdata & Pidana
Undang- Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan TindakanMedik

III. INTERNET
http://www.research.umn.edu/consent/mod1soc/mod1sec4.html


[1] Alexandra Indriyanti dewi,etika & hukum kesehatan,Pustaka Book Publisher,Yogyakarta,hal.158
[2] Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
[3] Guwandi, Informed consent Consent, FKUI, Jakarta, 2004,hal.112
[4]Anny Isfandyarie,Tanggung jawab hukum dan sanksi bagi dokter buku I,Prestasi Pustaka Publisher,Jakarta,hal.126
[5] Ibid.,
[8]Peraturan Menteri Kesehatan RI No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan TindakanMedik
[9] Pasal 22 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
[10] Guwandi, Pengantar Ilmu Hukum Medik & Bio-etika FKUI .Jakarta. 2009,hal.17
[11] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Buku III
[12]Q.S. Almaidah Ayar 1 Al Qur`anul Karim dan terjemahan dalam Al Qur`an Digital.

[13] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Ctk Kedua,Sinar Grafika,Jakarta,1996,hal.15