BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia.
“Tatanan Perbuatan” mengandung arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu peraturan
semata, seperti kadang-kadang dikatakan demikian. Hukum adalah seperangkat
peraturan yang kita pahami dalam satu kesatuan yang sistemik.[1]
Dalam setiap pendekatan terhadap hukum, kita akan menemukan suatu kenyataan
yang agak mengejutkan bahkan memalukan, karenanya ternyata adalah tidak mungkin
mendefenisikan hukum secara tepat. Bagi Hillian Seagle (1946-2) pertanyaan
tentang apa hukum itu, dianggapnya sebagai “the dark cat in the bag of
jurisprudence” [2]
Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang
muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan
kelanjutan dari aliran hukum realisme Amerika yang menginginkan suatu
pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman
selama ini yang bersifat Socratis. Beberapa nama yang menjadi penggerak CRITICAL
LEGAL STUDIES adalah Roberto Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel,
Mark Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz, dan yang lainnya.
Perbedaan utama antara CRITICAL LEGAL STUDIES dengan
pemikiran hukum lain yang tradisional adalah bahwa CRITICAL LEGAL STUDIES
menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik. Tidak ada
pembedaan model logika hukum; hukum adalah politik dengan baju yang berbeda.
Hukum hanya ada dalam suatu ideologi. CRITICAL LEGAL STUDIES menempatkan fungsi
pengadilan dalam memahami hukum sebagai perhatian utama.
Walaupun menolak dikatakan sebagai tipe pemikiran
Marxis yang membedakan antara suprastruktur dan infrastruktur serta hukum
sebagai alat dominasi kaum kapitalis, CRITICAL LEGAL STUDIES mendeklarasikan
peran untuk membongkar struktur sosial yang hierarkhis. Struktur sosial
merupakan wujud ketidakadilan, dominasi, dan penindasan. Tugas kalangan hukum
adalah membawa perubahan cara berpikir hukum dan perubahan masyarakat.
Pemikiran ini terinspirasi pemikiran filsafat kritis dari Jurgen Habermas, Emil
Durkheim, Karl Mannheim, Herbert Marcuse, Antonio Gramsci, dan lain-lain.
Jurgen Habermas, Karl Mannheim, Herbert Marcuse, dan Antonio Gramsci adalah
tokoh-tokoh utama mahzab kritis[3]
CRITICAL
LEGAL STUDIES timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal
berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang
sebenarnya.Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun
1960-an. Pada masa itu, praktik hukum menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang
kontras. Di satu sisi, beberapa pengadilan dan beberapa bagian dari profesi
hukum telah menjadi juru bicara bagi kelompok masyarakat yang tidak beruntung.
Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang bersamaan, hukum menampilkan sosoknya
yang dilengkapi dengan sepatu boot dan berlaku represif untuk membasmi setiap
anggota masyarakat yang membangkang.
Terdapat 2 (dua) tema yang dominan dalam kritik yang dilancarkan oleh CRITICAL LEGAL STUDIES ini, yaitu:
Terdapat 2 (dua) tema yang dominan dalam kritik yang dilancarkan oleh CRITICAL LEGAL STUDIES ini, yaitu:
Institusi-institusi
hukum sudah tercemar dari dalam, ikut menyebabkan ketiadaan ketertiban sosial
secara keseluruhan, dan hukum bekerja terutama sebagai alat kekuasaan. Dalam
tema ini, keberpihakan hukum yang sangat jelas, yang menguntungkan golongan
kaya dan merugikan serta menipu golongan miskin, dikutip sebagai bukti yang
tidak terbantahkan.
Kritik
terhadap legalisme liberal (liberal legalism) itu sendiri, adalah mengenai
gagasan bahwa tujuan keadilan dapat dicapai melalui sistem peraturan dan
prosedur yang objektif, tidak memihak dan otonom.
B. Pokok Permasalahan
Adapun yang menjadi pokok permasalahan
dalam tulisan ini adalah :
1. Bagaimanakah bentuk dasar pemikiran dari
gerakan Critical Legal Studies?
2. Apa saja kelebihan dan kekurangan
pemikiran Critical Legal Studies?
3. Bagaimanakah analisis pemikiran critical
legal studies dalam hukum Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan
ilmiah ini adalah :
1. Mengetahui dasar pemikiran dari gerakan
Critical Legal Studies.
2. Mengetahui kelebihan dan kekurangan
gerakan Critical Legal Studies.
3. Mengetahui analisa bentuk pemikiran
critical legal studies dalam Hukum Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Pemikiran Gerakan Critical Legal Studies
1.
Ketidakpastian
Positivisme menuntut bahwa memutuskan suatu kasus
menunjuk pada ketetapan dan kepastian. Namun CRITICAL LEGAL STUDIES menganggap
bahwa klaim atas suatu kepastian adalah palsu. Baik aturan hukum maupun ajaran
prinsip-prinsip hukum dan pepatah tidak bisa digunakan untuk menentukan hasil
akhir dari suatu kasus. Rasionalitas hukum adalah semacam manipulasi. Hal ini
karena prinsip-prinsip, doktrin atau pepatah yang sama dapat digunakan untuk
lapangan kasus yang berbeda dengan hasil yang berlawanan atau berbeda. Berbagai
aturan hukum dan berbagai kata atau frase yang digunakan dalam aturan sangat
rentan terhadap berbagai penafsiran tergantung pada hakim menerima interpretasi
yang mana. Singkatnya, tidak tergantung pada substansi hukum, apalagi alasan
rasio hukum. Yang ditolak adalah bahwa seluruh hukum memiliki aturan yang
tetap.
Namun menurut Hari Chand, positivis memang salah
dengan menuntut hukum memutuskan kasus sebagaimana CRITICAL LEGAL STUDIES juga
salah karena melihat hukum sebagai ketidakpastian. Kenyataan kepastian hukum
juga ada tetapi tidak benar jika hal itu ada pada masing-masing dan setiap
hukum dan aturan atau sistem hukum. Pada suatu kasus yang berat, mungkin tidak
aturan hukum yang dapat dijadikan pedoman oleh hakim dan fakta ketidakmenentuan
banyak terdapat pada kasus-kasus yang berat. Namun tesis ketidakmenentuan tidak
dapat dibenarkan dalam banyak kasus lainnya.
2.
Pertentangan
Bahwa doktrin hukum mengandung kontradiksi adalah
pandangan pokok lain dari aliran hukum kritis. Unger memberikan contoh hukum
kontrak yang didasarkan atas prinsip kebebasan untuk memilih dari patner dan
ketentuan dan kondisi yang diinginkan para pihak dan counterprinsip tidak boleh
meruntuhkan aspek sosial kehidupan bersama dan tidak dilakukannya transaksi dan
bargaining yang tidak fair. Namun selalu ada suatu permainan prinsip dominasi
dalam hukum kontrak. Pada kenyataanya terdapat unsur dominasi dalam kesatuan .
B. Kelebihan Dan Kekurangan Critical
Legal Studies
1.
Kelebihan Critical Legal Studies
CRITICAL LEGAL STUDIES terdiri dari berbagai macam
pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut
bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada pemikiran
post-modern. Namun ada beberapa kesepahaman antara pemikiran-pemikiran
tersebut, yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial
yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk
merombak struktur sosial.
Kekritisan CRITICAL LEGAL STUDIES dalam memahami
realitas sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum
berdasarkan praktis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis
adalah kelebihan utama CRITICAL LEGAL STUDIES. Kekuatan ini diwujudkan dalam
bentuk analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum
yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara
obyektif.
Kelebihan lain dari CRITICAL LEGAL STUDIES adalah
perhatiannya yang sangat besar terhadap pengakuan individu sebagai subyek
kehendak utama dalam tatanan sosial. Kelebihan ini seperti membangkitkan
kembali pandangan eksistensialis Kant-ian yang akhir-akhir tergerus oleh
gelombang modern dan industri sehingga menimbulkan keterasingan individu
subyektif karen tersedot arus budaya massa yang abstrak.
2.
Kekurangan Critical Legal Studies
Sebagaimana pemikiran kritis yang lain, apabila
tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan dan batas penggunaan,
kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau paling tidak terjebak pada
lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana sehingga melupakan tugas
praksis terhadap masyarakat.
Kelemahan lain
adalah dari sifat asli pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya sendiri
melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi.
Padahal realitas masyarakat selualu cenderung mempertahankan nilai-nilai dan
tatanan lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa. Maka
konsekuensi dari pendukung CRITICAL LEGAL STUDIES akan selalu berada di pinggir
sistem sosial kalau tidak tidak anggap sebagai makhluk aneh yang harus
disingkirkan. Akibatnya CRITICAL LEGAL STUDIES sangat sulit menjadi mainstream
pembangunan hukum. Tugas utama CRITICAL LEGAL STUDIES adalah melancarkan kritik
untuk perubahan yang dilakukan oleh orang lain.[4]
C.
Analisis
Kritis terhadap Hukum di Indonesia
Penggunaan CRITICAL LEGAL STUDIES untuk menganalisis hukum di
Indonesia paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde
baru. Pada masa inilah dapat dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan
ekonomi dan politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan
ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang
disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi
mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil
dan politik rakyat
Sebagai salah satu contoh, disini akan diungkapkan kepentingan kelas
dominan dalam menentukan substansi Rancangan Undang-Undang Pemilu yang saat ini
dibahas di DPR. Pemilu tahun 2004 memiliki arti strategis. Bagi penguasa, momen
ini memiliki arti untuk melanggengkan kekuasaannya. Sehingga sejak saat ini pun
banyak langkah dan kebijakan yang dilandasi pertimbangan kepentingan kekuasaan
tahun 2004. Di sisi lain, masa transisi politik adalah masa paling mudah
melakukan perubahan karena tidak adanya kekuatan yang dominan. Pemberantasan
KKN harus dilakukan dalam rentang waktu transisi politik.Apabila sampai saat
rekonsolidasi politik perubahan belum berhasil, maka proses perubahan akan
kembali memasuki masa-masa yang sulit karena semakin mapannya kekuasaan.
Makna pemilu 2004 menjadi semakin penting karena pada waktu inilah
dimulai sistem perwakilan baru yaitu bikameraldi Indonesia yang ditandai dengan
adanya DPD dan bergesernya kedudukan MPR, serta merupakan awal pelaksanaan
pemilihan Presiden secara langsung. Untuk bisa menciptakan wakil rakyat yang
amanah dan bertanggungjawab serta sebagai salah satu agenda pemberantasan KKN,
harus dipilih dan diciptakan sistem pemilu yang dapat memenuhi kepentingan
tersebut
Pemilu 1999 yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar
tertutup telah menimbulkan jarak antara wakil rakyat dan konstituennya. Dengan
memilih tandar gambar partai, kampanye partai politik lebih menekankan pada
sentimen primordial dan nama besar tokoh partai, sehingga pilihan konstituenpun
tidak berdasarkan pertimbangan rasional program dan citra calonnya. Sebagai
bukti dapat diungkapkan bahwa perbedaan pilihan untuk DPR, DPRD Propinsi dan
DPRD Kota/Kabupaten hanya 0,04%. Akibatnya, saat ini sulit untuk menggunggat
pertanggungjawaban wakil rakyat.
Penilaian negatif seseorang terhadap wakil rakyat akan dengan mudah
terhapus oleh nama besar dari partai. Sistem pemilu tahun 1999, juga melahirkan
hegemoni kekuasaan partai politik. Kekuasaan partai politik sangat besar dalam
menentukan calon dan apa yang harus diperbuat wakil rakyat. Sistem pemilu tahun
1999 ternyata telah mengukuhkan budaya politik yang abstrak, paternalis, dan
tidak bertanggung jawab.
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum yang saat ini sedang dibahas
di DPR, dalam beberapa hal mencoba untuk menutup berbagai kekurangan dalam
sistem pemilu yang digunakan tahun 1999. Dengan menggunakan sistem proporsional
dengan daftar terbuka diharapkan dapat dicapai aspek representasi dari sistem
proporsional dan aspek akuntabilitas dari sistem distrik. Sistem ini tentu saja
memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif bagi perkembangan partai
politik adalah; pertama, mengalihkan konflik penyusunan daftar nama calon dalam
partai politik.
Sebelumnya, konflik tidak sehat, karena keputusannya tergantung pada
pimpinan partai. Dalam sistem proporsional dengan daftar terbuka calon tidak
disusun berdasarkan peringkat. Calon jadi adalah calon yang mendapatkan jumlah
suara tertentu menurut peringkat sesuai jatah kursi daerah setempat. Kedua,
karena seorang calon nasibnya ditentukan oleh suara yang didapat, maka calon
tersebut terutama harus berkampanye di daerahnya.
Kampanye dengan menghadirkan tokoh tertentu diluar daerah
pemilihannya menjadi kurang berarti bagi terpilihnya seorang calon. Kampanye
yang dilakukan harus menyentuh kebutuhan riil masyarakat, dan masyarakat bisa
menggugat serta mengkoreksinya pada pemilu kemudian. Ketiga, dengan sistem
tersebut, akan mengeliminasi hegemoni partai politik terhadap wakil rakyat dan
memperdekat jarak wakil rakyat dengan konstituennya.
Sisi positif bagi masyarakat, adalah pembangunan budaya politik yang
rasional. Pertama, masyarakat tidak hanya memilih tanda gambar partai, tetapi
juga memilih calon yang akan mengisi kursi partai tersebut. Sehingga sangat
mungkin partai pilihan pemilih berbeda antara DPRD Kota/Kabupaten, DPRD
Propinsi, dan DPR. Masyarakat juga belajar kalkulasi rasional terhadap citra
dan program wakil rakyat. Kedua, kepentingan-kepentingan daerah atau isu-isu
lokal menjadi mendapatkan tempat dalam perpolitikan Indonesia.
Sedangkan sisi negatifnya adalah pelaksanaannya yang cukup rumit dan
membutuhkan pengetahuan pemilih yang detil dan lengkap. Dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang tingkat pendidikannya rendah, pelaksanaan sistem ini
memang cukup sulit. Belum lagi masalah teknis lain, seperti bentuk surat suara,
waktu yang digunakan untuk memilih dan waktu penghitungan suara.
Namun kendala tersebut bukan berarti tidak bisa diselesaikan.
Kendala kesadaran dan pengetahuan pemilih bisa diatasi apabila ada proses voter
education yang memadai dalam tahapan pemilu. Proses ini tentu saja tidak hanya
dilakukan oleh KPU sebagai pelaksana pemilu, tetapi juga oleh elemen masyarakat
yang lain. Kendala kerumitan proses kampanye, pemilihan, dan penghitungan, juga
bisa diatasi dengan pemisahan pelaksanaan pemilu. Disamping karena pokok
persoalan pemilihannya berbeda, hal ini juga akan memperkukuh kalkulasi
rasional masyarakat pada masing-masing pemilihan.
Namun lagi-lagi upaya perubahan ini menghadapi tembok kekuasaan yang
saat ini berada dalam bangunan partai politik. Enam partai besar sudah
menunjukan indikasi penolakan sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Berbagai alasan dikemukakan mulai dari yang ideologis sampai pada yang teknis.
Penolakan tersebut dapat dimaklumi karena; pertama, sistem ini akan
memperlemah kontrol partai politik terhadap wakil rakyat. Kedua, sistem ini
akan menimbulkan kesadaran kritis pemilih. Pemilih yang sadar tidak akan lagi
terikat secara emosional tetapi lebih pada citra dan program calon wakil
rakyat. Akibatnya, partai yang tidak memiliki program yang sungguh-sungguh akan
ditinggalkan. Ketiga, sistem ini membutuhkan proses kampanye yang panjang,
dialogis dan menitikberatkan pada pendidikan politik, padahal partai politik
saat ini lebih menyukai proses mobilisasi massa. Tembok penghalang tersebut
sangat kukuh, karena bermukim dalam lembaga DPR dan pemerintahan. Kedua
institusi inilah yang secara yuridis normatif memegang kekuasaan membentuk
Undang-undang. Tampaknya harapan memperoleh wakil rakyat yang lebih
bertanggungjawab sulit terwujud.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pemikiran hukum di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh
dua aliran besar, yaitu positivis dan sociological jurisprudence. Aliran
positivis terutama dipegang oleh kalangan aparat penegak hukum, akademisi dan
birokrasi, sehingga seringkali menjadi penghalang perkembangan hukum serta
mengalami kebuntuan ketika menghadapi kasus-kasus baru.
Sedangkan aliran sociological jurispurudence banyak tergambar dari
perilaku dan aktivitas politisi terutama lembaga pembuat undang-undang
(legislatif). Aliran ini awal mulanya diterapkan pada masa orde baru untuk
mendukung program-program pembangunan orde baru dan melanggengkan kekuasaan
dengan menjaga stabilitas politik. Saat ini yang tersisa adalah menjadikan
hukum sebagai ajang legiitimasi dalam memperoleh dan melanggengkan kekuasaan.
CRITICAL LEGAL STUDIES sendiri masih sangat baru bagi kalangan hukum
di Indonesia. Perkembangan awal CRITICAL LEGAL STUDIES digunakan oleh kalangan
aktivis LSM untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini
sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan
menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis.
Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh
pergulatan kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mendominasi baik dari dalam
negeri maupun kekuatan kapitalis internasional. Maka sudah saatnya
pemikiran-pemikiran CRITICAL LEGAL STUDIES juga digunakan untuk memahami,
mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di Indonesia.
Sebagai penutup tulisan ini, maka
penulis mengajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- CLS timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang sebenarnya. Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun 1960-an, yaitu ketika praktik hukum saat itu menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang kontras. Di satu sisi, hukum telah menjadi juru bicara bagi kelompok masyarakat yang tidak beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang bersamaan, hukum menampilkan sosoknya yang represif terhadap masyarakat.
- Esensi pemikiran CLS adalah terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. Dari pandangannya bahwa hukum itu adalah politik, maka CLS menolak dan menyerang keyakinan para positivis dalam ilmu hukum yang mengembangkan pemikiran hukum liberal. CLS berusaha untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi.
- Pemikiran CLS juga telah mempengaruhi pemikiran para ahli hukum di Indonesia. Hal itu dapatlah dipahami, karena keadaan hukum di Indonesia mirip dengan keadaan hukum di Amerika Serikat pada saat CLS ini lahir. Oleh karena itu, maka metode kajian hukum dari CLS menjadi sangat relevan apabila dipergunakan dalam menganalisis keadaan hukum di Indonesia. Sebagai contoh, dalam melihat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan menggunakan metode kritisi yang ditawarkan oleh CLS, maka dapat terlihat bahwa undang-undang itu sebenarnya penuh dengan muatan kepentingan pemilik modal nasional dan terlebih lagi internasional, dengan agenda ekonomi neoliberalismenya. Akibatnya, perlindungan bagi kaum buruhnya menjadi tersingkirkan. Pada akhirnya, lagi-lagi buruh itu menjadi “…sekedar sebagai sebuah komoditas” yang tidak diperhatikan dan dilindungi hak-hak asasinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
:
1.
Ahmad ali,2009,Menguak teori hukum dan
teori peradilan,Jakarta : Prenada Media Group.
2.
Hans Kelsen,2007,Teori Umum Hukum dan
Negara,Jakarta : bee media Indonesia.
Internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar