A.
Latar Belakang
Dahulu kala Hippocrates pernah
menganjurkan untuk mengalihkan perhatian pasien terhadap apa yang sedang
dilakukan terhadapnya.....dan jangan mengungkapkan apa-apa tentang keadaan
pasien baik sekarang atau kemudian hari (Perform calmly, and adroitly,
concealing most things from the patient while you are attending him. Give
necessary orders with cheerfulness and serenity, turning his attention away
from what is being done to him.... Revealing nothing f the patient`s future or
present condition...). Dengan perubahan zaman dan perkembangan ilmu dan
tekhnologi serta informasi, maka anjuran Hippocrates ini tidak dapat
dipertahankan lagi. Perkembangan zaman di Yunani dan Romawi kuno kemudian, para
dokter telah memperoleh consent dari para pasien berdasarkan tujuan murni
therapeutik. Latar belakangnya adalah berdasarkan suatu keyakinan bahwa seorang
pasien akan sembuh lebih cepat apabila ia sendiri juga turut berpartisipasi
dalam pengobatannya.
Konsep informed consent di zaman modern, telah mengalami
suatu proses panjang sehingga menjadi doktrin yang mempunyai dasar legal.
Konsep ini didasari oleh pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) untuk
memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri. Sumber dasar
doktrin ini berasal dari falsafah moral, sosial budaya dan politik, pengaruh
falsafah moral menjadi pengaruh yang paling dominan.
Declaration of Lisbon (1981) dan Patient`s Bill of Right
(American Hospital Association, 1972), menyatakan bahwa “pasien mempunyai hak
menerima dan menolak pengobatan dan hak untuk menerima informasi dari dokternya
sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik”. Hal ini berhubungan dengan
hak menentukan nasib sendiri (the right to self determination) sebagai dasar hak
asasi manusia, dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya
dan tindakan medik apa yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Hukum diharapkan akan melindungi
kepentingan hak. Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan dan
sebagai konsumen di Indonesia, dilindungi oleh hukum positip yaitu UU No.23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004 dan UU
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Hak pasien selalu dihubungkan
dengan pemeliharaan kesehatan maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak
untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hak-hak
pasien diantaranya ;[1]
a. Hak untuk Hidup, hak atas tubuhnya
sendiri dan hak untuk mati secara wajar;
b. Hak memperoleh pelayanan kedokteran
dan perawatan secara manusiawi sesuai standar profesi baik kedokteran maupun
keperawatan;
c. Menolak prosedur diagnosis dan
terapi yang direncanakan;
d. Memperoleh penjelasan tentang riset
kedokteran dan keperawatan yang akan diikutinya;
e. Menolak atau menerima
keikutsertaannya dalam riset kesehatan dan kedokteran;
f. Dirujuk kepada dokter spesialis bila
diperlukan;
g. Kerahasiaan dan rekam mediknya atas
hal pribadi;
h. Memperoleh penjelasan tentang
peraturan rumah sakit;
i.
Berhubungan dengan keluarga, penasihat rohani dan lain-lain
j.
Hak atas informasi
Informasi
yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa
yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut
dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya,
perkiraan biaya pengobatan.
k. Hak atas persetujuan (Consent)
Consent
: suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh seseorang
yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang
tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah
yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab,
hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen
penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur & konsekuensinya. Hak persetujuan
atas dasar informasi (Informed Consent).
Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak health care receiver
antara lain hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik
atas dasar informasi (informed consent). Jadi informed consent merupakan
implementasi dari kedua hak pasien tersebut.[2]
Persetujuan tindakan medik/ Informed
consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, tetapi
setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan. Informed
consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan
dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan
lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan
tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.[3]
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis tertarik untuk membuat makalah tentang : “sejarah hukum doktrin
informed consent”.
B. PERMASALAHAN
Adapun yang menjadi pokok
permasalahan dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana sejarah hukum informed
consent?
2.
Bagaimana hubungan hukum informed consent dengan tenaga kesehatan?
3.
Bagaimana perspektif hukum islam terhadap informed concent?
C. METODOLOGI PENULISAN
Penulisan ini terdiri dari tiga bab.
Bab I, Pendahuluan berisi latar belakang masalah sejarah hukum informed
consent, Identifikasi masalah dan metodologi penulisan. Bab II, Pembahasan,
berisi tinjauan pustaka tentang sejarah hukum informed consent, hubungan hukum
informed consent dengan tenaga kesehatan, Persfektif Hukum Islam terhadap
informed consent. Bab III, Penutup, terdiri dari simpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Sejarah hukum informed consent
Informed consent lahir karena ada
hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin dalam transaksi teurapeutik
menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu pihak pemberi pelayanan
(medical provider) dan pihak penerima
pelayanan (medical receiver) dan ini
harus dihormati para pihak.[4]
Hak untuk menerima yang dimiliki seseorang akan bersinggungan dengan kewajiban
pihak lain untuk memberi, demikian pula sebaliknya. Interaksi antara hak dan
kewajiban inilah yang melahirkan hubungan hukum yang akan dan harus diatur oleh
hukum agar fungsi hukum yaitu tercapainya keteraturan (kepastian) dan
ketertiban dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat dapat terwujud. Hak
adalah wewenang, kekuasaan supaya berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu,
sebaliknya kewajiban adalah tunduk pada, menghormati hak tersebut atau berbuat
sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut. Hak pasien sebagai pengguna jasa
pelayanan kesehatan akan berhubungan dengan kewajiban tenaga kesehatan dan
rumah sakit untuk menunaikan hak-haknya. Dalam sistem hukum Islam menunaikan
kewajiban lebih diutamakan daripada hak. Pemahaman tenaga kesehatan tentang hak
pasien menjadi suatu keharusan. Dalam konteks ini, adalah Hak Asasi Manusia
(HAM) untuk memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan terhadap dirinya
sendiri, sehingga memunculkan doktrin informed consent.
Di Perancis walaupun Nuremberg code
acapkali dikatakan sebagai asal mulanya informed consent, namun yurisprudensi
Perancis memastikan kebutuhan untuk memperoleh informed consent baru pada tahun
1920. Opini ini dipastikan oleh Mahkamah Agung Perancis pada 28 Januari 1942,
bahwa semua dokter mempunyai kewajiban fundamental terhadap negara untuk
memperoleh persetujuan dari pasien terlebih dahulu. [5]
Pada awal mulanya, dikenal hak atas
Persetujuan/Consent, baru kemudian dikenal hak atas informasi yang kemudian
menjadi “Informed Consent”. Penambahan istilah “consent” menjadi “Informed
Consent” di dalam prakteknya harus melalui beberapa fase. Maka dikatakan bahwa
Informed Consent itu adalah suatu “Comunication Process”. Appelbaum, et al
menekankan “ ....consent as a process, not an event”. Meisel & Lorel Roth
memberi definsi doktrin Informed Consent sebagai “the legal model of the
medical decision making process”.
Doktrin Informed Consent timbul berdasarkan karena 2 (dua) hal pokok, yaitu :
Doktrin Informed Consent timbul berdasarkan karena 2 (dua) hal pokok, yaitu :
1. Equity, dalam arti kepatutan, dan
2. Battery, dalam arti
penyentuhan/pencederaan tubuh seseorang tanpa izinnya.
Keputusan-keputusan pengadilan yang
menyangkut masalah Equity sudah dimulai sejak abad ke-12 dan ke-13. Di dalam
sejarahnya, hal ini berkaitan dengan masalah hubungan yang didasarkan atas
suatu kepercayaan penuh pasien yang awam tentang kesehatan dengan dokternya
yang dianggap profesi yang menguasai ilmunya dengan baik karena sudah ditempuh
melalui jalur pendidikan. Maka, menjadi kewajiban dokter untuk memberi
penjelasan kepada pasiennya, sehingga pasien bisa memutuskan atau
mempertimbangkan suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Sedangkan
istilah “batery”, sering digunakan dengan istilah “assault”, sehingga menyatu
menjadi “assault and batery”, (assault artinya serangan). “Assault and batery”
termasuk tindakan yang bersifat kriminal, merupakan istilah kuno, namun masih
dipergunakan dalam sistem Anglo Saxon sebagai arti pencederaan. Kasus “assault
and batery” yang pertama sudah ditemukan pada tahun 1348.
Kasus “Slater vs Baker Stapleton”,
tahun 1767 menurut Appelbaum, et al merupakan kasus yang pertama di Inggris
dimana diputuskan bahwa dokter harus memperoleh ijin pasien terlebih dahulu
sebelum melakukan tindakannya. Duduk persoalannya sebagai berikut :
Dua orang dokter dipersalahkan
karena tanpa izin pasiennya telah memisahkan lagi callous (pertumbuhan tulang
baru) dari suatu fraktur yang sudah mulai sembuh sebagian dan menyatu. Tindakan
tersebut selain dilakukan tanpa izin pasien juga dianggap bertentangan dengan
standar profesi medik, karena dokter bedah lain tidak akan berbuat demikian.
Kasus Mary E. Schoendorff vs The
Society of the New York Hospital, muncul tanggal 14 April 1914, yang diputuskan
di dalam Court of Appeals of New York. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut
:
Pada bulan Januari 1908, Mary E.
Schoendorff datang ke New York Hospital karena merasakan ada gangguan pada
lambungnya. Rumah sakit yang didatanginya ini merupakan Rumah Sakit non profit
dan yang bersifat amal (charity institution). Ia dirawat dan diperiksa oleh
dokter Bartlett yang mendeteksi sebuah benjolan yang ternyata adalah sebuah
“fibroid tumor”. Ia dikonsulkan kepada dokter Srimson yang menganjurkan
operasi. Untuk memastikan adanya “fibroid tumor” tersebut harus dilakukan
pemeriksaan dengan ether. Mary menyetujui untuk dilakukan pemeriksaan dengan
ether, tetapi meyatakan kepada dokter Bartlett bahwa ia tidak mau dioperasi.
Pada malam harinya, ia diambil dari bangsl interne dan dibawa ke bangsal bedah,
dimana perawat menyiapkan untuk operasi. Esok harinya dilakukan pembiusan
dengan ether da sewaktu pasien dalam keadaan tidak sadar, sebuah tumor telah
diangkat. Mary mengatakan bahwa ini dilakukan tanpa persetujuannya, tetapi
dibantah oleh para dokter dan perawat lainnya. Sesudah operasi dan menurut
kesaksian para saksi, timbul gangren pada lengan kirinya, sehingga beberapa
jarinya harus diamputasi. Penderitaannya hebat, maka ia menuntut rumah
sakitnya. Mary dikalahkan, dengan dasar, menurut prinsip-prinsip hukum, sebuah
Rumah Sakit yang bersifat amal (Charitable institutions) tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban terhadap kelalaian para dokter dan perawatnya. Teori lain yang
dipakai adalah teori yang mengatakan bahwa seorang pasien yang meminta
pertolongan kepada suatu institusi amal dianggap telah melepaskan haknya untuk
menuntut apabila ada kelalaian dalam tindakan yang dilakukan.
Mary mengajukan banding kepada Court
of Appeals, dan Hakim Benyamin Cardozo J yang memeriksa memenangkannya dengan
mengatakan bahwa : “Di dalam kasus ini, kesalahan yang digugat bukan hanya
kelalaian saja. Ini adalah pelanggaran terhadap hak seseorang. Setiap manusia
dewasa dan berakal sehat, berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukan
terhadap tubuhnya sendiri; dan seorang dokter ahli bedah yang melakukan suatu
operasi tanpa persetujuan pasiennya dapat dipersalahkan telah melakukan suatu
pelanggaran untuk mana ia harus bertanggung jawab atas segala kerugian” (In the
case at hand, the wrong complained of is merely negligence. It is trespass.
Ever human being of adult years and sound mind has a riht to determine what
shall be done with his own body, and a surgeon who performs an operation without
his patient`s consent commits an assault, for which he is liable in damages).
Kasus-kasus lain, mulai banyak bermunculan, sesudah kasus Mary E. Schoendorff. Di antaranya yang terkenal adalah kasus Allan vs New Mount Sinai Hospital (1980). Oleh hakim yang memeriksa diputuskan bahwa : “tanpa persetujuan, baik tertulis maupun lisan, tidak boleh dilakukan pembedahan. Ini bukan hanya formalitas belaka, ini adalah hak asasi dari seseorang utnuk dapat mengontrol terhadap tubuhnya sendiri, walaupun dalam hal yang menyangkut bidang medik. Adapun pasien, bukan dokternya, yang memberi keputusan apakah suatu pembedahan akan dilakukan dan oleh siapa pembedahan itu akan dilakukan. Kecuali dalam keadaan emergensi, namun keadaannya harus sedemikian rupa sehingga mengancam nyawanya dan tindakan itu bukan untuk memudahkan” ( Without consent, either written or oral, no surgery may be performed. This is not mere formality, it is an important individual right to have control over one`s own body, even where medical treatment is involved. It is the patient, not the doctor, who decides whether surgery will be performed, where it will be done, when it be done and by whom it will be done. Medical emergencies are exceptions to this principle, but the situation must be life-threatening and the opportunity most than just “convenient).
Menurut Prof. Azrul Azwar : “kehendak untuk menghormati hak asasi manusia dalam bidang kedokteran diterjemahkan sebagai hak-hak pasien (patient right) akhirnya ditetapkan sebagai salah satu kewajiban etik yang harus dipatuhi oleh setiap warga profesi kedokteran. Kode etik kedokteran disahkan pada Sidang Umum Organisasi Kedokteran Dunia, tahun 1949. Butir 6, kode etik ini menyatakan bahwa : “a physician shall respect the rights of the patient”.
Kasus-kasus lain, mulai banyak bermunculan, sesudah kasus Mary E. Schoendorff. Di antaranya yang terkenal adalah kasus Allan vs New Mount Sinai Hospital (1980). Oleh hakim yang memeriksa diputuskan bahwa : “tanpa persetujuan, baik tertulis maupun lisan, tidak boleh dilakukan pembedahan. Ini bukan hanya formalitas belaka, ini adalah hak asasi dari seseorang utnuk dapat mengontrol terhadap tubuhnya sendiri, walaupun dalam hal yang menyangkut bidang medik. Adapun pasien, bukan dokternya, yang memberi keputusan apakah suatu pembedahan akan dilakukan dan oleh siapa pembedahan itu akan dilakukan. Kecuali dalam keadaan emergensi, namun keadaannya harus sedemikian rupa sehingga mengancam nyawanya dan tindakan itu bukan untuk memudahkan” ( Without consent, either written or oral, no surgery may be performed. This is not mere formality, it is an important individual right to have control over one`s own body, even where medical treatment is involved. It is the patient, not the doctor, who decides whether surgery will be performed, where it will be done, when it be done and by whom it will be done. Medical emergencies are exceptions to this principle, but the situation must be life-threatening and the opportunity most than just “convenient).
Menurut Prof. Azrul Azwar : “kehendak untuk menghormati hak asasi manusia dalam bidang kedokteran diterjemahkan sebagai hak-hak pasien (patient right) akhirnya ditetapkan sebagai salah satu kewajiban etik yang harus dipatuhi oleh setiap warga profesi kedokteran. Kode etik kedokteran disahkan pada Sidang Umum Organisasi Kedokteran Dunia, tahun 1949. Butir 6, kode etik ini menyatakan bahwa : “a physician shall respect the rights of the patient”.
Hak-hak pasien dimaksud tertera
dalam pasal 3 antara lain “ ……to accept or refuse treatment after receiving
adequate information”. [6]
Di Indonesia kasus Muhidin di
Sukabumi merupakan tonggak perkembangan doktrin Informed Consent yang diikuti
dengan dikeluarkannya Fatwa IDI No. 319/P/BA./1988 dan diadopsi dalam Permenkes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik. Kasus tersebut berawal dari dokter GM.
Husaini yang tidak menjelaskan bahwa resiko operasi matanya adalah “mata pasien
akan tampak bolong.” Pasien Muhidin menggugat dokter yang bersangkutan telah
melakukan perbuatan melawan hukum yaitu mengambil biji mata Muhidin. Permenkes
yang terakhir adalah Permenkes RI Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Di
Indonesia belum terdapat yurisprudensi yang dapat dijadikan pegangan sehingga
belum bisa berkembang. Doktrin informed consent menyangkut masalah HAM (Hak
Asasi Manusia) sehingga pengaturannya sebaiknya harus melalui
perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang atau Peraturan
Pemerintah.[7]
B.
Hubungan hukum informed consent
dengan tenaga kesehatan.
Informed consent berasal dari hak
legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap
tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk
meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan
kesehatan terhadap diri mereka sendiri. Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/
IX/1989 tentang persetujuan medik pasal 6 ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang
memberikan informasi dalam hal tindakan bedah adalah dokter yang akan melakukan
operasi, atau bila tidak ada, dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk
dokter yang bertanggung jawab. Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi)
dan tindakan invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau
perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.[8]
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis
tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya
adalah kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi yang
berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk
meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.[9]
Tenaga kesehatan yang tidak
menunaikan hak pasien untuk memberikan informed consent yang jelas, bisa
dikategorikan melanggar case law (merupakan sifat hukum medik) dan dapat
menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Belakangan ini masalah malpraktek medik
(medical malpractice) yang cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan
perhatian dari masyarakat dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Kesehatan Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi
di Indonesia. Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed
consent yang kurang jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus
malpraktek baru mulai bermunculan. [10]
Hubungan tenaga kesehatan dengan
pasien termasuk dalm wilayah hukum perdata yaitu perjanjian untuk melakukan
jasa (Pasal 1601 KUH Perdata) yang didasarkan atas hubungan saling percaya.
Aspek perdata informed consent bila dikaitkan dengan hukum perikatan terdapat
dalam buku ke III, pasal 1230 KUH Perdata yang menyatakan bahwa syarat syahnya
perjanjian diperlukan empat syarat :[11]
1. Kesepakatan mereka yang
mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Jika dihubungkan dengan informed
consent, maka :
Ad. 1. Kesepakatan mereka yang
mengikatkan dirinya, merupakan syarat pertama. Consent/ persetujuan dari pasien
merupakan syarat untuk dilaksanakan perjanjian pelayanan kesehatan sehingga
syah menurut hukum dan memberikan kewenangan kepada tenaga kesehatan untuk
melakukan tindakan medik. Para pihak dalam hal ini pasien dan tenaga kesehatan
harus sepakat. Rumah Sakit secara hukum perdata bertanggung jawab terhadap
segala kegiatan yang berada di bawah tanggungjawabnya, dalam hal ini termasuk
dalam pelaksanaan informed consent.
Ad. 2. Kecakapan para pihak dalam
hal ini tenaga kesehatan maupun pasien, harus sudah dewasa dan akil baligh
sehingga dapat melakukan perbuatan hukum. Orang yang belum dewasa atau
mengalami gangguan pikiran, maka diwakili oleh wali atau orang tuanya. Pasien
yang sudah dewasa bisa memberikan consentnya dan pada ana-anak diwakili oleh
orang tuanya. Tetapi untuk negara-negara Asia termasuk Indonesia seringkali
peran keluarga sangat dominan.
Ad. 3. Suatu hal tertentu yang
diperjanjikan itu harus sudah jelas, bukan suatu hal yang umum. Dalam hal ini
sudah jelas, yaitu tetang usaha untuk kesembuhan pasien dan imbalan bagi tenaga
kesehatan.
Ad. 4. Adanya suatu sebab yang halal
dalam hubungan tenaga kesehatan dan pasien, artinya tidak boleh melanggar
hukum, kesusilaan maupun ketertiban umum. Tenaga kesehatan melaksanakan
tugasnya untuk memberikan pelayanan jasa atas dasar kemanusiaan.
Hubungan tenaga kesehatan dan pasien
juga diatur oleh hukum pidana. Apabila melakukan tindakan medik tanpa
persetujuan atau consent pasien maka dianggap melangggar pasal 351 KUH Pidana
mengenai penganiayaan. Meskipun secara yuridis formil belum ada justifikasi,
tetapi ilmu pengetahuan telah menerima tindakan pembedahan dokter melalui
konstruksi ”materieel niet wedeerchtelijk”, secara materiil tidak bertentangan
dengan hukum atau atas konstruksi yuridis ”ketidakadanya kesalahan”, AVAS,
(Afwezigheid van alle schuld) sama sekali tidak adanya kesalahan.
C. Persfektif Hukum Islam terhadap informed consent.
Informed consent merupakan suatu
perjanjian, kesepakatan antara pihak tenaga kesehatan dengan pasien. Secara
etimologis perjanjian (yang dalam bahasa arab diistilahkan muahadah ittifa`,
akkad) atau kontrak dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang
atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.
Masing-masnig pihak harus
menghormati pihak lain yang menbuat perjanjian, yang menjadi dasar hukum adalah
Q.S Al Maidah ayat 1 ;[12]
"Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu[*]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali
yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya."
[*] Aqad (perjanjian) mencakup:
janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam
pergaulan sesamanya.
Secara umum yang menjadi syarat syahnya
perjanjian adalah ;[13]
1. Tidak menyalahi hukum syari`ah
yang disepakati asalnya
2. Harus sama ridho, dan ada pilihan
3. Harus jelas dan gamblang
Dokrin Informed consent juga
berkaitan dengan kewajiban “menunaikan amanat” . Tenaga kesehatan harus menunaikan
amanat untuk mendapatkan consent dari pasien, sebab pelanggaran amanat akan
merugikan pasien. Hal tersebut disebutkan dalam Al Qur`an surat Al Anfal , ayat
27 :
"Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga)
janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu Mengetahui."
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Perkembangan sejarah hukum informed
consent, telah mengalami suatu proses panjang di semua negara. Terdapat
berbagai pendapat yang menjelaskan timbulnya hukum informed consent, yang
paling utama adalah dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan
hak pasien yang paling mendasar. Terdapat beberapa kasus yang kemudian menjadi
dasar yurisprudensi untuk pedoman menangani kasus berikutnya. Di indonesia
doktrin informed consent masih belum berkembang dengan baik, dibutuhkan kajian
ulang terhadap aturan yang ada sehingga bisa mengingat para pihak.
Tenaga kesehatan yang tidak
menunaikan hak pasien untuk memberikan informed consent yang jelas, bisa
dikategorikan melanggar case law dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal
praktek. Tenaga kesehatan bisa terkena gugatan perdata maupun pidana. Oleh karena
itu, pengetahuan tenaga kesehatan tentang informed consent menjadi suatu
kemestian agar tidak menimbulkan kasus hukum.
B.
SARAN
Sebaiknya aturan yang ada
ditingkatkan menjadi setingkat Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah karena
berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, sebaiknya pembagian
tugas informed consent harus jelas antara tiap tenaga kesehatan sehingga akan
lebih jelas tanggung jawabnya.
DAFTAR PUSTAKA
I.
BUKU
Alexandra
Indriyanti dewi,etika & hukum
kesehatan,Pustaka Book Publisher,Yogyakarta
Al Qur`anul Karim dan terjemahan
dalam Al Qur`an Digital.
Anny
Isfandyarie,Tanggung jawab hukum dan
sanksi bagi dokter buku I,Prestasi Pustaka Publisher,Jakarta
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.
Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Ctk Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 1996.
Guwandi. Informed consent Consent.
FKUI. Jakarta. 2004.
Guwandi, Pengantar Ilmu Hukum Medik
& Bio-etika FKUI .Jakarta. 2009
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KUH Perdata & Pidana
Undang- Undang No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan TindakanMedik
III. INTERNET
III. INTERNET
http://www.research.umn.edu/consent/mod1soc/mod1sec4.html
[1] Alexandra Indriyanti
dewi,etika & hukum kesehatan,Pustaka
Book Publisher,Yogyakarta,hal.158
[2] Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
[4]Anny Isfandyarie,Tanggung jawab hukum dan sanksi bagi dokter
buku I,Prestasi Pustaka Publisher,Jakarta,hal.126
[5] Ibid.,
[9] Pasal 22 ayat 1 Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
[11] Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata,Buku III
[13]
Chairuman
Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum
Perjanjian Dalam Islam, Ctk Kedua,Sinar Grafika,Jakarta,1996,hal.15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar