Siapa yang
tidak kenal Hukum di negara ini? Negara Indonesia sebagai sebuah negara hukum
sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 yang menyatakan secara jelas bahwa
Indonesia adalah negara yang di dasarkan pada Hukum. Hukum telah menjadi
fenomena yang mendasar bagi persoalan-persolan yang ada di negara ini, begitu
banyak persoalan-persoalan yang membutuhkan penyelesaian hukum yang bersih.
Hukum bagaikan
mata pisau, merupakan sebuah fenomena di negara ini, Tajam kebawah dan Tumpul
keatas. Benarkah hal itu? Menjadi tanggung jawab kita semua untuk mengembalikan
jati diri hukum sebagai wadah yang dapat memberikan keadilan, kepastian serta
kemanfaatan bagi masyarakat negara ini. Penegakan hukum merupakan dimensi yang
dipengaruhi oleh banyak hal, mulai dari aspek perekonomian, politik dan hukum
itu sendiri.
Hukum haruslah
berjalan sebagai sebuah sistem yang baik, dimana semua sub sistemnya mampu
berjalan seiringan sesuai dengan tujuan hukum itu. Substansi Hukum adalah norma
peraturan perundang-undangan yang merupakan sebuah alat untuk menjalankan dan
menegakkan hukum, substansi hukum haruslah sesuatu yang jelas tanpa menimbulkan
multy tafsir dan mampu memberikan kepastian dalam penegakannya. Struktur hukum
merupakan sub sistem kedua dalam sistem hukum yang didalamnya terdapat
sekumpulan aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan,
kehakiman serta penegak hukum lainnya yang memberikan kontribusi dalam
penegakan hukum, strukur hukum harus mampu bekerja secara seirama memiliki satu
tujuan yaitu penegakan hukum.
Subsistem
terakhir yaitu budaya hukum, budaya hukum adalah ruh dari substansi dan strukur
hukum. Budaya hukum yang tinggi searah dengan penegakan hukum yang baik.
Sebagai contoh seorang pengendara motor yang memiliki budaya hukum yang baik
tentu akan mengikuti rambu-rambu lalu lintas dalam berkendara. Begitu juga
dengan yang lainnya, mulai dari kelompok yang kecil hingga yang besar kita
harus selalu menanamkan budaya hukum yang baik.
Berbicara
mengenai penegakan hukum dan sistem hukum yang terdiri dari substansi hukum,
struktur hukum dan budaya hukum tentunya saat ini bagaikan pembicaraan yang
hanya membuang tenaga dan pikiran, Negara ini bagaikan telah kehilangan jati
diri dan kehilangan semangat untuk menegakkan hukum. Mulai dari kasus besar
Bank Century yang tidak memiliki penyelesaian secara hukum, kasus kriminalisasi
ketua KPK, kasus rekening gendut Polri, Jaksa yang disuap. Rasanya tidak ada
lagi yang mampu kita harapkan dalam penegakan hukum, negara ini bagai panggung
sandiwara yang dipenuhi artis-artis antagonis yang memainkan perannya dan
mengikuti script yang telah ditulis.
Mungkin benar
jika Hukum bagaikan sebuah mata pisau yang hanya tajam kebawah dan sangat
tumpul keatas, hukum tidak mampu menunjukkan ketajamannya ketika telah
berhadapan dengan orang-orang elite politik, orang-orang yang dekat dengan
kekuasaan. Sebuah analisis hukum yang dikemukakan oleh Karl Marx yaitu :
“ bahwa pembuatan
undang-undang didapatkan ciri pada kekuasaan hukum masyarakat kapitalis, dimana
keinginan / kenyataan dalam masyarakat dirumuskan berdasarkan
keinginan-keinginan pihak yang berkepentingan melalui baju rasionalitas hukum
formal (undang-undang) yang dengan cara seperti itu hukum dinyatakan berlaku, tetapi apabila kepentingan-kepentingan
kelas (pemerintah / penguasa tertentu) terbentur, maka dibuatlah
pengecualian-pengecualian dan terjadilah penyimpangan dari asas-asas hukum
tersebut yang dibuat dalam bentuk seolah-olah formal juga yang menurutnya
disebut sebagai Ketidakjujuran kelas yang berkuasa terhadap hukum”[1]
Apakah hal ini
terjadi di Indonesia? Mungkin jawabanya iya, dimana sistem positivisme hukum
hanya melahirkan hukum yang terefleksi sebagai kepentingan pihak – pihak
tertentu.
Kesimpulan
dari tulisan ini ialah sebuah sistem hukum positivisme dapat berjalan baik
dalam sebuah negara yang telah memiliki budaya hukum yang tinggi, dimana
kesadaran hukum masyarakatnya yang tinggi dan menjunjung penegakan hukum yang
bersih, serta negara yang telah memiliki sapu (sebagai alat dalam hal ini
undang-undang) dan pembersihnya (dalam hal ini pemerintah) telah bersih juga.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Prof. Satjipto raharjo “bagaimana
mungkin membersihkan rumah dengan sapu yang kotor?”.
[1] A.A.G. Peters dan Koesrani Siswosoebroto, 1998, hukum dan pekembangan sosial, Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, hlm. 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar