Rabu, 27 November 2013

HUKUM MATA PISAU



Siapa yang tidak kenal Hukum di negara ini? Negara Indonesia sebagai sebuah negara hukum sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 yang menyatakan secara jelas bahwa Indonesia adalah negara yang di dasarkan pada Hukum. Hukum telah menjadi fenomena yang mendasar bagi persoalan-persolan yang ada di negara ini, begitu banyak persoalan-persoalan yang membutuhkan penyelesaian hukum yang bersih.
Hukum bagaikan mata pisau, merupakan sebuah fenomena di negara ini, Tajam kebawah dan Tumpul keatas. Benarkah hal itu? Menjadi tanggung jawab kita semua untuk mengembalikan jati diri hukum sebagai wadah yang dapat memberikan keadilan, kepastian serta kemanfaatan bagi masyarakat negara ini. Penegakan hukum merupakan dimensi yang dipengaruhi oleh banyak hal, mulai dari aspek perekonomian, politik dan hukum itu sendiri.
Hukum haruslah berjalan sebagai sebuah sistem yang baik, dimana semua sub sistemnya mampu berjalan seiringan sesuai dengan tujuan hukum itu. Substansi Hukum adalah norma peraturan perundang-undangan yang merupakan sebuah alat untuk menjalankan dan menegakkan hukum, substansi hukum haruslah sesuatu yang jelas tanpa menimbulkan multy tafsir dan mampu memberikan kepastian dalam penegakannya. Struktur hukum merupakan sub sistem kedua dalam sistem hukum yang didalamnya terdapat sekumpulan aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman serta penegak hukum lainnya yang memberikan kontribusi dalam penegakan hukum, strukur hukum harus mampu bekerja secara seirama memiliki satu tujuan yaitu penegakan hukum.
Subsistem terakhir yaitu budaya hukum, budaya hukum adalah ruh dari substansi dan strukur hukum. Budaya hukum yang tinggi searah dengan penegakan hukum yang baik. Sebagai contoh seorang pengendara motor yang memiliki budaya hukum yang baik tentu akan mengikuti rambu-rambu lalu lintas dalam berkendara. Begitu juga dengan yang lainnya, mulai dari kelompok yang kecil hingga yang besar kita harus selalu menanamkan budaya hukum yang baik.
Berbicara mengenai penegakan hukum dan sistem hukum yang terdiri dari substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum tentunya saat ini bagaikan pembicaraan yang hanya membuang tenaga dan pikiran, Negara ini bagaikan telah kehilangan jati diri dan kehilangan semangat untuk menegakkan hukum. Mulai dari kasus besar Bank Century yang tidak memiliki penyelesaian secara hukum, kasus kriminalisasi ketua KPK, kasus rekening gendut Polri, Jaksa yang disuap. Rasanya tidak ada lagi yang mampu kita harapkan dalam penegakan hukum, negara ini bagai panggung sandiwara yang dipenuhi artis-artis antagonis yang memainkan perannya dan mengikuti script yang telah ditulis.
Mungkin benar jika Hukum bagaikan sebuah mata pisau yang hanya tajam kebawah dan sangat tumpul keatas, hukum tidak mampu menunjukkan ketajamannya ketika telah berhadapan dengan orang-orang elite politik, orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Sebuah analisis hukum yang dikemukakan oleh Karl Marx yaitu : 
 
“ bahwa pembuatan undang-undang didapatkan ciri pada kekuasaan hukum masyarakat kapitalis, dimana keinginan / kenyataan dalam masyarakat dirumuskan berdasarkan keinginan-keinginan pihak yang berkepentingan melalui baju rasionalitas hukum formal (undang-undang) yang dengan cara seperti itu  hukum dinyatakan berlaku, tetapi apabila kepentingan-kepentingan kelas (pemerintah / penguasa tertentu) terbentur, maka dibuatlah pengecualian-pengecualian dan terjadilah penyimpangan dari asas-asas hukum tersebut yang dibuat dalam bentuk seolah-olah formal juga yang menurutnya disebut sebagai Ketidakjujuran kelas yang berkuasa terhadap hukum”[1]

Apakah hal ini terjadi di Indonesia? Mungkin jawabanya iya, dimana sistem positivisme hukum hanya melahirkan hukum yang terefleksi sebagai kepentingan pihak – pihak tertentu.
Kesimpulan dari tulisan ini ialah sebuah sistem hukum positivisme dapat berjalan baik dalam sebuah negara yang telah memiliki budaya hukum yang tinggi, dimana kesadaran hukum masyarakatnya yang tinggi dan menjunjung penegakan hukum yang bersih, serta negara yang telah memiliki sapu (sebagai alat dalam hal ini undang-undang) dan pembersihnya (dalam hal ini pemerintah) telah bersih juga. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Prof. Satjipto raharjo “bagaimana mungkin membersihkan rumah dengan sapu yang kotor?”.



[1] A.A.G. Peters dan Koesrani Siswosoebroto, 1998, hukum dan pekembangan sosial, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, hlm. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar